Selarik Senyum Elisa Koraag

Sabtu pagi 5 Desember 2015. Pukul 08:15 WIB saya meluncur dari kediaman saya di Tangerang Selatan menuju Perpustakaan dan Arsip Jakarta Selatan---dekat dengan Gandaria City---menggunakan jasa transportasi ojek Online.

Sampai sana pukul 09:30 WIB. Saya masih sendirian, belum ada satu pun teman yang datang. Satu jam kemudian datang satu orang (Maya) setengah jam berikutnya disusul seorang lagi (Awan). Kebetulan sejak saya datang, langit menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Seharian di sana, saya hitung-hitung sampai 3 kali hujan (Ya, ampun).


Tak selang lama datang 4 orang, satu orang perempuan setengah baya (Nita) dengan dikawal 3 anak muda (Ngka dan sahabatnya).
Sambil menunggu, kami ngobrol di lobi Perpus. Kemungkinan petugas Perpus terganggu dengan suara kami, akhirnya kami disuruh masuk ke ruang di mana acara akan berlangsung.

Kalian pembaca bertanya-tanyakah ada acara apa?
Ya, peluncuran buku "SKETSA SEBUAH SENYUM" karya Bunda Elisa Koraag. Buku kumpulan 50 puisi yang (sepertinya) mengungkapkan usia di balik pribadi yang ceria.
(Maaf, Bund. Sengaja).


Menjelang waktu makan siang, jujur saja kami yang telah datang itu lapar, dan di luar hujan deras. Tadinya saya ingin mencari buku resep, berharap bisa kenyang dengan menatapnya. Namun, Allah memang baik. Mbak Edib dan Vanessa datang membawa "kebahagiaan".
Ruang Perpus dibuat agak kosong dengan memindahkan kardus-kardus buku. "Kebahagiaan-kebahagiaan" itu ditata di atas meja oleh saudari-saudari Bundcha yang juga hadir.

Setelah rapi, kami dipersilakan makan. Sok-sok jaim, padahal ngebet. Pertama kali yang saya---kami tepatnya---ambil adalah bubur Manado. Rasanyaaa, ah, nagih. Berbagai kebahagiaan ada di sana. Yang berat hingga ringan. Ciri khas masakan Manado adalah PEDAS. Dan, jangan tanyakan seberapa level pedas yang terasa. Puding, goody bag Gary (cuma untuk anak-anak, Bunbuuunnn aku kan mauuu.), pastel, bakpao, roti, ikan tongkol bakar, orek tempe, ayam goreng, tumpeng dan teman-temannya, daun pepaya, sambal dabu-dabu (enaaakkk), sup, terakhir adalah makanan gengsi. JENGKOL, langsung ludes.


Setelah acara makan-makan, pembukaan acara peluncuran buku dengan MC Gita Siwi. Dimulai dengan 3 orang membacakan 3 puisi yang ada dalam buku, Nita, Loli, dan Awan. Dilanjut pembedahan buku oleh Ireng Halimun juga Lathifah Edib selaku editor dan pembicara. Ulasan-ulasan Ireng Halimun begitu memiliki makna, tidak asal komentar tetapi beliau juga mendalami betul-betul puisi-puisi tersebut.



Pembacaan puisi berlanjut, setelah sedikit kata dari penulis. Lathifah Edib dan Ireng Halimun membacakannya dengan ekspresi yang luar biasa. Dan, tibalah giliran saya membawakan puisi "AKU HANYA SETITIK DEBU" (saya disuruh tobat oleh Mbak Edib). Terakhir seorang kawan Bundcha membawakan puisi dan acara ditutup.



Dari semua puisi yang ada, kita akan tahu sosok di balik seorang Elisa Koraag yang hebat dan kuat. Setiap kita memiliki kelebihan dan kekurangan namun jangan jadikan kekurangan sebagai kelemahan. Jadikan kelebihan sebagai kekuatan kita agar berguna, dan jadikan kelemahan sebagai sesuatu yang harus terus kita perbaiki.

WD

Komentar