Belajar salah satu masalah hidup dengan film Athirah

Indonesia yang sangat kaya dengan berbagai suku bangsa dan ragam budaya ini membuat kita sepatutnya bangga. Bukankah bahasa dan adat istiadat juga kekayaan yang takkan pernah usai? Apapun ide yang timbul bisa diwujudkan, karena kekayaan Indonesia sungguh takkan habis. Seperti film Athirah yang baru saya tonton bersama MP Pro Media di Metropole XXI dan Koalisi Online Pesona Indonesia (KOPI). Athirah ini film karya anak bangsa yang menceritakan
sebagian budaya di Sulawesi, menggunakan setting Makasar dan Bone sekitar tahun 1950 hingga 1960-an.

Begitu kental budaya yang diangkat, daerah di Indonesia yang seperti “banjir” ikan ini punya berbagai jenis kuliner olahan ikan yang ditampilkan dalam film Athirah dan sejujurnya saya pun jadi lapar ketika nonton film yang satu ini. Athirah ini megisahkan tentang poligami, ya, Cut Mini dimadu oleh suaminya ketika ketiga anaknya sudah besar, usaha yang dijalankan sudah berjalan dengan baik. Ketika mengetahui bahwa sang Ayah menikah lagi, Ucu si sulung merasakan sakit hati yang luar biasa hingga tidak mau berbicara dengan Ayahnya, Puang Ajji. Belum lagi peristiwa-peristiwa yang menguji kesabaran dan keikhlasan diri dan anak-anaknya. Athirah adalah sosok wanita yang tangguh dan bijak, dia tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Athirah selalu pandai bersikap bagaimana pun perasaannya saat itu.

Athirah juga menyampaikan bahwa besarnya mahar yang harus dibawakan oleh pihak laki-laki kepada wanita yang ingin dinikahinya itu sangatlah besar. Jadi, dihitung dari status keluarga dalam strata sosial, juga jumlah anggota keluarganya. Adik dan kakak kandung adalah pertimbangan utama, jika banyak dan laki-laki, maka akan semakin besar maharnya. Itu menjadi suatu ketakutan tersendiri oleh para kaum Adam.

Dari keseluruhan film Athirah ini saya agak kecewa dengan endingnya. Seperti film-film lokal pada umumnya, akhir dari film Athirah yang menggantung, walau mungkin mencoba menyampaikan bahwa Athirah berhasil menata hati dan tersenyum dengan caranya sendiri. Tak hanya kisah Athirah, saya sebenarnya menunggu bagaimana akhir cerita Ucu yang menaruh hati pada teman sekolahnya, Ida.

Yang saya suka dari film Athirah ini adalah perasaan emosi pemainnya sangat tersampaikan. Tanpa dialog pun, saya tahu apa yang mau disampaikan dan bagaimana perasaan dalam kondisi seperti itu. Biasanya saya tidak pernah tertarik menonton film dengan judul yang menggunakan nama pemeran utama selain memang tokokh yang sudah sangat dikenal. Tapi untuk film Athirah ini saya rekomendasikan banget buat ditonton weekend ini. Athirah begitu banyak menyampaikan pesan dan pelajaran hidup. Saya rasa bisa ajak keluarga untuk nonton Athirah, kita akan tahu sebuah perasaan dari sebuah perlakuan. Saya suka semua properti yang digunakan dalam film Athirah, dia menonjolkan pakaian adat Sulawesi yaitu baju Bodo, dan sarung-sarung songket yang terlihat eksotis.

Secara tidak langsung, saya selalu terpesona dengan budaya sulawesi, pernah bertukar cerita dengan seorang teman di Bone. Saya suka bahasanya yang unik, lingkungannya yang sepertinya masih asri dalam bayangan saya. Para pemain di film Athirah ini 30% menggunakan bahasa Sulawesi, dan saya kagum dengan logat mereka yang seakan sudah sangat lancar menggunakan bahasa Sulawesi. Secara keseluruhan, saya suka film Athirah yang semoga film-film sejenis ini terus diproduksi, film yang mengenalkan, mengingatkan, dan menyadarkan pada kita tentang suatu kehidupan berbudaya.







Komentar