"Aku akan tetap pada pendirianku." Galih
mengucapkannya dengan lesu.
"Tapi, tidakkah kau pikilkan lagi ucapanmu itu? Aku
mencintaimu, sangat mencintaimu," ucapku.
"Iya, aku mengerti, Sayang. Aku pun begitu. Aku sangat
ingin selalu bersamamu ke mana pun." Galih menatapku lekat.
Begitu inginnya aku memeluk Galih. Tapi, itu sangat tidak
mungkin. Jika teljadi, akan banyak yang telluka.
"Lalu, tak inginkah kau mengajakku belsamamu?"
tanyaku penuh halap.
"Tak akan bisa. Hanya aku dan semua keluargaku yang
akan terus bersamaku. Kau juga tak mungkin bisa mengimbangiku."
"Kata siapa? Aku bisa mengimbangi peljalananmu walau
kita belbeda jalan." Aku sedikit ngotot.
"Enggak akan bisa, Lana. Kita ini berbeda, SANGAT jauh
berbeda." Galih sepeltinya mulai kesal menjelaskan padaku.
"Tapi, tadi kau bilang, kau mencintaiku? Sekalang kau
begitu mempelmasalahkan pelbedaan." Aku begitu sedih, apakah dia benal
mencintaiku?
Aku mengenal Galih saat Diani---sahabat yang
melukaiku---mengajakku ke stasiun, dan di sana aku beltemu dengan Galih. Tepat!
Aku jatuh cinta padanya saat itu juga. Pelawakannya yang begitu memesona,
begitu gagah. Aku yakin, pasti banyak pula yang menyukainya.
"Galih, apakah kalena aku cadel?" tanyaku.
Aku takut jika semua alasan Galih adalah kalena aku cadel.
Semua belmula saat Diani bosan dengan sualaku yang kubawa sejak lahil, dia
mengganti sualaku di bengkel langganannya. Diani yang lock n' loll, membuatku
halus susah mengucapkan huluf 'L'. Ah, bukan 'L' tapi 'L'. Susahnya.
"Bukan ...," ucapannya telputus.
Galih sepelti ingin mengucapkan sesuatu, aku telus beldoa
agal bagaimanapun calanya kita bisa belsatu.
"Lalu, apa? Jangan membuatku semakin sedih, Galih."
"LANA!!!"
Aku telsentak, Galih membentakku untuk peltamakalinya. Tapi,
aku tak bisa menangis, hanya telasa sesak.
"Lana, maaf. Aku tak bermaksud kasar padamu. Tapi,
...." Lagi, Galih memotong ucapannya.
"Tapi apa?! Aku mau belkolban apapun untukmu," ucapku
sedikit kesal.
"Lana ...." Galih melembut, "Kita ini berbeda,
aku berjalan di rel dan kamu di aspal. Kamu bisa mengimbangiku pun harus lewat
jalan bebas hambatan.
Sinyal lampu sudah dinyalakan, dan Galih meninggalkanku di
stasiun setelah menulunkan Diani.
TangSel, 14/02/2015
WD
Ket. Terinspirasi dari buku "L" karya Asa Mulchias
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah masuk ke blog ini, sila tinggalkan komentar.
:)